Prodi Hukum Untan

Artikel

Penemuan Hukum Oleh Hakim (Rechtvinding)

Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas : Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22 AB dan Pasal 14 Undang-undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”.Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding). Hakim membuat Undang-undang karena Undang-undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan hukum. Seolah-olah Hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk per Undang-undangan. Pasal 21 AB menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim tidak berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pasal 1917 (2) KUHPerdata yang menentukan “bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan tersebut. Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum. Namun demikian tidak semua ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas dan sebagai reaksinya lahirlah aliran yang menolak dan menerima penemuan hukum oleh hakim: Sedangkan hukum kontinental [seperti di Indonesia] mengenal penemuan hukum yang heteronom sepanjang Hakim terikat kepada Undang-undang. Tetapi penemuan hukum Hakim tersebut mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat disebabkan Hakim harus menjelaskan atau melengkapi Undang-undang menurut pendangannya sendiri. Lebih lanjut lahir pula suatu aliran yang mengetengahkan Metode penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam melaksanakan Undang-undang apabila terjadi peristiwa konkrit. Undang-undang sebagai kaedah umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh sebab itu harus dilaksanakan/ditegakkan. Agar dapat memenuhi azas bahwa setiap orang dianggap tahu akan Undang-undang maka undang-undang harus disebar luaskan dan harus jelas. Kalaupun Undang-undang itu jelas tidak mungkin lengkap dan tuntas, tidak mungkin Undang-undang mengatur segala kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas karena kegiatan menusia sangat banyaknya. Selain itu Undang-undang sebagai hasil karya menusia yang sangat terbatas kemampuannya.Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada peristiwanya. Seorang Sarjana terkemuka Carl Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran yaitu rekontruksi pikiran yang tersimpul dalam Undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat dipergunakan semaunya tetapi pelbagai kegiatan yang semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan yaitu penafsiran Undang-undang. Yang memerlukan penafsiran ialah terutama perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian itu cukup jelas kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.Selanjutnya Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh : Mengenai penafsiran Hukum inipun mempunyai metode penafsiran antara lain : Akhirnya dari uraian2 di atas dapat disimpulkan bahwa : Sumber: Ditjenpp Kemenkumham

Artikel

Menelisik Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum di Dunia

Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum. Ilmu hukum berasal dari Bangsa Romawi, karena bangsa ini telah dianggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Konsekuensinya perkembangan dan penyempurnaan hukum di negara-negara lain selalu dipengaruhi oleh Hukum Romawi. Bahwa, ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan. Ilmu yang formal tentang hukum positif sintesa ilmiah tentang asas- asas yang pokok dari hukum. Ilmu hukum adalah nama yang diberikan untuk mempelajari hukum suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teorotis, yang berusaha mengungkapkan asas–asas yang pokok dari hukum. Awal mula timbulnya ilmu hukum berawal dari tradisi peradaban barat. Peradaban barat bersumber kepada peradaban Yunani dimana negara dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat oleh manusia. Dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsipsentral kehidupan. Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah tahun 1200 SM yaitu bermula sejak Dorian yang datang dari utara menduduki pusat kekuasaan Mysia (sebuah daerah di Asia kecil). Mereka tidak membawa pola pemerintahan mereka, sehingga mereka mendirikan negara-negarakota yang dalam bahasa Yunani disebut Polis (dari kata polis inilah timbul kata policy, politics dan police yang semuanya berkaitan dengan polis atau negara). Penemuan hukum lahir dari proses pergulatan dua paham besar yang saling tarik-menarik antara kepentingan kepastian hukum menurut undang-undang dan keadilan sesuai denyut nadi kehidupan masyarakat. Di Indonesia, penemuan hukum memiliki kecenderungan pola seperti negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Namun dalam perkembangan sejarah penemuan hukum, posisi hakim bukan lagi heteronom dalam pengertian tidak menjalankan peran secara mandiri. Hakim dapat melakukan penemuan hukum (penemuan hukum oleh Hakim “Rechtvinding“,-pen.) secara otonom dengan memberi bentuk pada isi undang-undang sesuai kebutuhan hukum. Sejarah ilmu hukum adalah sejarah ilmu untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan yang dihadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi yang kuat. Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukumakan dapat melengkapi pengetahuan kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut. [Cut Mutiawati]

Berita

Gelar Diskusi Interaktif Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI

PONTIANAK, – Fakultas Hukum Untan bersama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI (Ditjen AHU)menyelenggarakan Diskusi Interaktif bertajuk, “Ekonomi Wilayah Perbatasan dan Sengketa Lintas Batas”. Diskusi Interaktif dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Edy Suasono, S.H., M.Hum di Gedung Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Kamis (10/9). Dengan mengedepankan pencegahan penyebaran Covid-19, pelaksanaan diskusi dilakukan dengan menetapkan protokol kesehatan. Diskusi Interaktif ini digelar dalam rangka melengkapi Draf Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Perdata Internasional sebagai penopang pemberdayaan ekonomi wilayah perbatasan. Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura bertindak sebagai penyelenggara utama pada kegiatan diskusi dikarenakan, Kalimantan Barat merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia dimana terdapat banyak kegiatan keperdataan yang bersifat lintas batas negara. Turut hadir sebagai pembicara dalam Diskusi Interaktif tersebut adalah Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (FH Untan) Dr. Budi Hermawan Bangun, S.H., M.Hum yang menyampaikan materi tentang “Realitas Hubungan Ekonomi Dan Perdagangan Lintas Batas”. Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat John Halasan Butar Butar, S.H.., M.Si., M.H. dengan topik “Temuan Perkara Dan Penyelesaian Sengketa Perdata Berdimensi Asing Di Pengadilan Umum Wilayah PengadilanTinggi Kalimantan Barat”, sedangkan Dosen FH Universitas Indonesia Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D. menyampaikan materinya secara virtual mengenai, “Pengadilan Sirkuit dan Ekonomi Wilayah Perbatasan”. Adapun, sebanyak 45 orang peserta yang hadir dalam lingkup nasional turut berpartisipasi secara daring maupun luring dalam kegiatan diskusi yang berasal dari berbagai latar belakang baik praktisi maupun akademisi. *(mrd)

Berita, Dekan, Kegiatan, Kemahasiswaan & Alumni, Rektor Untan

Kegiatan PKKMB Fakultas Hukum UNTAN 2020 Secara Daring

Pontianak, – Rektor Untan secara resmi mengukuhkan seluruh mahasiswa baru UNTAN melalui upacara pembukaan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) tahun 2020 di halaman Rektorat Untan, yang di buka secara langsung oleh Rektor Universitas Tanjungpura (UNTAN), Prof. Dr. Garuda Wiko, S.H., M.Si, (09/9). Usai pengukuhan tersebut, Mahasiswa Baru Fakultas Hukum UNTAN juga disambut hangat oleh Dekan Fakultas Hukum UNTAN, Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, S.H., M.Hum dalam acara Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) 2020 yang dilakukan secara daring di lingkungan Fakultas Hukum Untan. Rangkaian kegiatan PKKMB akan berlangsung selama 4 hari yaitu dari tanggal 9 – 12 September 2020. Dimana kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus. Selain pengenalan kehidupan kampus, kegiatan PKKMB akan diisi dengan berbagai materi yang disampaikan oleh berbagai instansi seperti materi bela negara, anti penyalahgunaan narkotika, pencegahan radikalisme, anti korupsi, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan ini, Dekan Fakultas Hukum UNTAN memberikan ucapan selamat kepada mahasiswa baru tersebut karena telah bergabung menjadi keluarga besar mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN. Mahasiswa baru juga diperkenalkan dengan pejabat struktural Fakultas Hukum UNTAN mulai dari Dekan, Wakil Dekan, Ketua Program Studi, hingga seluruh tenaga kependidikan. Selain sambutan dari Dekan Fakultas Hukum UNTAN, mahasiswa baru Fakultas Hukum UNTAN juga dibekali dengan materi tentang kepemimpinan yang disampaikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Sutarmidji, S.H., M.Hum. secara daring. Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum UNTAN, Agus, S.H., M.H., menjelaskan ada bantuan kuota internet sebesar 7 GB untuk seluruh mahasiswa baru Fakultas Hukum UNTAN dengan harapan agar dapat mengikuti kegiatan PKKMB daring secara lancar. (mrd)

Berita, DPM

BEM & DPM Sahkan AD/ART Keluarga Besar Mahasiswa FH Untan

Pontianak, – Dewan Perwakilan Mahasiswa bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (AD/ART KBM FH Untan), Kamis (2/9/2020). AD/ART KBM FH Untan yang pertama kali disahkan menjadi aturan dasar untuk mengatur jalannya aktivitas kegiatan kemahasiswaan Fakultas Hukum Untan. Mulai dari Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, Lembaga Organisasi Kemahasiswaan dan berbagai kegiatan mahasiswa lainnya. Adanya aturan ini akan membuat kegiatan kemahasiswaan berjalan dengan baik dan teratur. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FH Untan, Bapak Agus, SH.MH mengatakan, “pada dasarnya AD/ART KBM FH Untan ini akan membuat kita semua menjadi satu. Walaupun setiap organisasi kemahasiswaan berbeda kegiatan, tetapi tujuan utamanya tetap satu yaitu mengedepankan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura,” ujarnya. Plt. Ketua BEM FH Untan Reza Saputra mengungkapkan AD/ART KBM FH Untan berfungsi sebagai hukum dasar setiap organisasi kemahasiswaan di FH Untan. Reza berharap, dengan disahkannya AD/ART ini dapat melaksanakan semua tugas dan fungsinya secara lebih baik dan teratur. Sejak awal dilantik DPM FH UNTAN periode 2019/2020, organisasi internal kampus ini telah merencanakan untuk membuat aturan dasar yang akan menjadi acuan untuk mengatur berjalannya kegiatan kemahasiswaan.  Anselmus Ersandy Santoso Ketua DPM FH Untan menuturkan, terciptanya AD/ART KBM FH Untan tidak luput dari kerja keras seluruh anggota DPM. “Kami bekerja keras dan berupaya sebaik mungkin, karena kami sadar pentingnya aturan ini bagi masa depan kemahasiswaan Fakultas Hukum Untan,” ujar Sandy sapaan karibnya. Lanjut Sandy, seluruh anggota DPM sadar bahwa harus ada sebuah hukum dasar yang akan menjadi acuan untuk membuat hukum lainnya, sehingga seluruh aturan yang dibuat dapat lebih teratur. Jika seluruh aturan teratur maka akan tercipta berbagai kegiatan kemahasiswaan yang berkualitas. Dengan begitu, Fakultas Hukum dapat menciptakan mahasiswa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berintelektual, berintegritas dan bertanggung jawab serta memiliki kepedulian sosial. (Anselmus/DPM FH Untan)

Berita, Dekan, Kegiatan, Rektor Untan

Webinar Nasional FH Untan ‘Quo Vadis Hukum Indonesia Dalam Menghadapi Perayaan Karhutla’

Pontianak, – Webinar Nasional ini diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dengan ceramah kunci disampaikan oleh Rektor Untan, Prof. Dr. Garuda Wiko, S.H., M.Si  FCArb. Rektor menyoroti soal kebakaran yang disebabkan perusahaan. Disampaikan tentang berbagai konsep tanggung jawab hukum korporasi secara keperdataan. Dilansir Tempo, Rektor Universitas Tanjungpura (Untan), Prof Garuda Wiko, yang menjadi pembicara kunci pada Webinar itu memberikan banyak uraian terkait regulasi pengendalian Karhutla melalui penegakan hukum. Menurutnya, pelaku karhutla tidak hanya tertuju kepada masyarakat desa yang hidup di lahan gambut tetapi juga koorporasi. Ada banyak teori hukum yang dapat digunakan untuk meminta tanggung jawab kepada korporasi terkait dengan karhutla di areal mereka. “Di Provinsi Kalimantan Barat telah dibentuk Peraturan Daerah terkait lingkungan hidup dan Peraturan Gubernur untuk karhutla. Regulasi itu memperkuat sanksi administrasi kepada pelaku pembakarann hutan dan lahan termasuk korporasi,” ujarnya. Hadir sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Irwansyah dari Universitas Hasanudin Makasar, Dr. Bernard L. Tanya dari Undana Kupang dan Dr. Aswandi dari Fakultas Hukum Untan. Diskusi dibuka Dekan Fakultas Hukum dan dimoderatori Dr. Hermansyah, Ketua PMIH Untan. Badan Restorasi Gambut (BRG) berupaya mencegah konflik di areal restorasi gambut guna meminimalisir persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat. Setidaknya ada dua strategi utama BRG dalam meminimalisir potensi konflik tersebut, yakni dengan membentuk paralegal di desa-desa peduli gambut, serta menggelar Sekolah Lapang Pertanian Alami Tanpa Bakar. Dilansir dari Pontianak Post, dalam kegiatan Webinar Nasional bertema ‘Quo Vadis Hukum Indonesia Dalam Menghadapi Perayaan Karhutla’ yang digelar pada Rabu (2/9), Myrna A. Safitri, Ph.D selaku Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, memaparkan tentang akses keadilan dan pemberdayaan hukum dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut. “Ketiadaan akses pada sistem hukum membuat masyarakat tidak dapat memperoleh perlindungan hak-haknya,” ungkap Myrna. Selain kurangnya akses pada sistem hukum, persoalan lainnya berkaitan dengan masalah hukum yang diakibatkan konflik di areal restorasi gambut adalah kurangnya kekuatan, kesempatan dan kapasitas masyarakat sehingga menghalangi untuk memanfaatkan hukum demi perbaikan kehidupan dan kesejahteraan secara paripurna. Karena itulah, lanjut dia, BRG memberikan pendampingan kepada masyarakat guna meminimalisir konflik yang berpotensi terjadi di areal restorasi gambut. Langkah pertama, pihaknya membentuk paralegal yang menjalankan peran sebagai mediator terkait konflik sumber daya alam, khususnya dalam hal ini adalah areal restorasi gambut. Dibentuknya paralegal ini, karena jamak masyarakat mengalami masalah hukum, termasuk sangkaan pembakaran lahan gambut. Sementara di sisi lain, jumlah pemberi bantuan hukum dan pendamping hukum untuk masyarakat sangatlah terbatas. Terlebih, pengetahuan hukum masyarakat juga sangat minim. “Selain itu, banyak konflik juga menjadi salah satu pemicu kebakaran lahan, namun pada akhirnya tidak banyak penyelesaian di tingkat tapak,” kata dia. Hingga kini, pihaknya telah melatih 759 orang sebagai paralegal masyarakat gambut, yang tersebar di sejumlah desa peduli gambut di tanah air. Mereka diberikan pemahaman tentang peran dan kedudukan paralegal dalam kegiatan restorasi gambut, pemahaman dan pengetahuan dasar tentang hukum dan prosedurnya, serta ketrampilan dalam melakukan pemetaan konflik dan resolusi konflik sumberdaya alam. “Hingga kini ada 152 kasus dampingan paralegal, dan lebih banyak berkaitan dengan lingkungan, pertanahan, maupun karhutla,” kata dia. Langkah kedua, pihaknya merealisasikan program Sekolah Lapang Pertanian Alami Tanpa Bakar. Program ini dilakukan mengingat kegiatan pertanian masyarakat perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pembukaan lahan tanpa bakar menurutnya dapat menjadi kearifan lokal baru yang perlu dikembangkan. Pembukaan tanpa bakar ini akan menutup potensi jerat hukum yang diakibatkan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pengetahuan dan penanganan masalah hukum bukan satu-satunya jawaban dalam mencegah potensi konflik di areal gambut. Karena itulah, diperlukan pendekatan lain untuk menjawab masalah ekonomi dan perlindungan lingkungan secara nyata dan perwujudan keadilan sosial-ekologi di tingkat tapak. “Karena itu, Sekolah Lapang dan Paralegal adalah dua sisi mata uang dalam mewujudkan akses keadilan dan pemberdayaan hukum,” pungkasnya. Sumber, pontianakpost.co.id, Tempo.

Scroll to Top