Oleh: Ria Wulandari, Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura._repository.untan.ac.id PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Setiap Negara memiliki hak untuk menegakkan ketentuan-ketentuan pidananya (jus puniendi). Hak untuk menjatuhkan pidana mensyaratkan dipenuhinya norma-norma tertentu, yakni norma yang mengatur keberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan tempat tindakan tersebut dilakukan. Khusus yang berkenaan dengan waktu, sangat penting dalam pemberlakuan hukum pidana. Hakim harus menerapkan undang-undang yang berlaku pada waktu delik dilakukan (tempora delicti). Bila suatu tindakan yang memenuhi rumusan delik ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang terkait, tindakan tersebut tidak hanya tidak dapat dituntut ke muka pengadilan tetapi juga pihak yang berkaitan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu sebagai syarat dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana.[1]Dengan kata lain hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut (Non Retroactif). Hampir seluruh Negara didunia menganut asas non retroaktif dalam hukum nasionalnya. Amerika adalah Negara pertama yang menganut asas ini yakni dalam konstitusi tahun 1783 dan sesudah itu dalam pasal 8 Declaration de Droits de l’homme et Du Citoyen tahun 1789 yang dikumandangkan setelah revolusi Prancis berisi : “Nulne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulquee anterieurement au delit et legalement appliqué” (tidak ada seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum yang disusun dan diundangkan sebelum delik tersebut ditetapkan secara legal). Asas ini kemudian dikenal dengan asas legalitas. Prancis memasukkan asas legalitas dalam konstitusinya pada tahun 1958 dalam pasal 7 dan 8 yang mana asas legalitas tersebut tidak saja diatur dalam hukum pidana materiil tapi juga hukum pidana formil. Jerman, Belgia, Spanyol, Italia,Hongaria,Republik Portugal adalah Negara yang pada hakikatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan merupakan pelanggaran pidana apabila diatur terlebih dahulu berdasarkan hukum nasionalnya. Selain itu terdapat pembatasan-pembatasan antara lain dianutnya asas tempore delicti (pada waktu delik dilakukan) oleh Belanda dalam pasal 1 ayat 2 WvS : “ Bij veradering in de wetgeving na t tijdstip waarop het feit began is, woorden de voor den vardachte gunstigste bepalingen toegepast”. Demikian pula pasal 1 ayat 2 KUHP Indonesia berbunyi : “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Hal yang sama juga terdapat dalam undang-undang Jerman yang dengan tegas menyatakan, “Bei verschiedenheit der gesetze von der zeit der bengangenen handlung bis zuderen aburteilung ist das mildest gesetz anzuwneden.” Jika ada perbedaan antara ketentuan pidana yang kemudian berlaku pada waktu tindak pidana yang sama diperiksa di pengadilan, ketentuan pidana yang paling ringanlah yang harus ditetapkan.[2] Sedangkan di inggris yang system hukumnya dibangun berdasarkanhukum kebiasaan (Common Law), mulai menuliskan semakin banyak delik kedalam perundang-undangannya (Statute Law).[3] Asasn non retroaktif secara universal juga diakui oleh hukum internasional public yang terwujud dalam pelbagai perjanjian-perjanjian internasional. Dapat disebutkan antara lain di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No 217A (III) pada tanggal 10 desember 1948 dalam pasal 11 ayat 1 dan 2, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam pas 15 ayat 1 dan 2, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi dan Kebebasan-Kebebasan Mendasar (ECHR) dalam pasal 7, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 9, Piagam afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk dan terakhir dalam Statuta Roma 1998. Secara umum perjanjian-perjanjian internasional tersebut selain memberi perlindungan terhadap kekuatan berlaku surut juga memuat ketentuan bahwa jika terjadi perubahan peraturan, pelaku harus dijatuhi hukuman yang tidak lebih berat daripada saat pelaku melakukan perbuatan kriminalnya. Khusus mengenai ketentuan ICCPR pasal 15 ayat 1 nya menggunakan asas non retroaktif yang dapat diadaptasikan jika bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui oleh masyaraka bangasa-bangsa. Menurut Travaux Preparatories, ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada orang yang bebas dari hukuman karena melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional dengan alasan bahwa tindakannya legal menurut hukum negaranya. Acuan terhadap hukum internasional juga merupakan jaminan tambahan bagi individu, yan melindungi individu dari tindakan seweang-wenang meskipun tindakan itu dilakukan oleh organisasi internasional.[4] Asas non retroaktif ini kemudian mulai disimpangi akibat munculnya kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi di beberapa Negara. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan merupakan petaka yang meninggalkan duka mendalam sehingga mengharuskan digunakannya tindakan-tindakan tertentu yang berbeda dengan aturan-aturan sebelumnya. Contoh mengenai hal ini adalah putusan-putusan yang dikeluarkan hakim Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Mahkamah Militer bekas Yugoslavia dan Rwanda serta putusan pengadilan nasional Israel atas kasus jendral Adolf Eichman yang telah menggunakan asas retroaktif dalam putusannya. Asas retroaktif kemudian menjadi asas yang diakui khususnya dalam bidang hukum pidana internasional.[5] Meski asas non retroaktif telah diakui dalam hukum pidana internasional, namun Statuta Roma sebagai dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang khusus mengadili kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan masih tetap mempertahankan asas non retroaktif (yang sudah bukan merupakan asas universal) yang termaktub dalam pasal 24 tentang ratione personae non retroactif. Asas non retroaktif yang dianut oleh Statuta roma 1998 memiliki unsur politis karena sebagian besar Negara memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya rekonsiliasi nasional. Otto Trifterer member komentar bahwa ketentuan ini lebih pada “change in the law; rationale and benefit of more favorable law.[6] Permasalahan Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji : Tinjauan Asas Non Retroaktif (Legalitas) Pengertian Asas Didalam hukum nasional maupun hukum internasional terdapat beberapa asas yang berlaku secara universal salah-satunya adalah asas non retroaktif. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang asas non retroaktif, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum. Menurut Mochtar kusumaatmadja, asas hukum umum ialah asas yang mendasari sistem hukum modern.[7] Sementara menurut J.H.P Bellefroid, asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok.[8] Lebih lanjut, aturan-aturan pokok ini dapat digunakan untuk menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasarkan pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada diungkapkan leh Van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Pendapat lain