Prodi Hukum Untan

Artikel, Berita, Berita Kampus, Kaprodi, Kemendikbud, Nasional, Untan

Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dan Universitas OSO Laksanakan Survei Lapangan di Wilayah Perbatasan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang

Jagoi Babang, Bengkayang, 20–23 Juli 2025 Tim peneliti gabungan dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (UNTAN) dan Fakultas Hukum Universitas OSO (UNOSO) melanjutkan rangkaian kegiatan penelitian di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Kegiatan survei partisipasi dan persepsi masyarakat kali ini dilaksanakan di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, sebagai bagian dari proyek riset terapan yang didanai oleh hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia untuk tahun anggaran 2025. Penelitian yang berjudul Model Integratif Harmonisasi Hukum Berbasis Realitas Sosial (MIH-HRS): Studi Pemenuhan Hak Pendidikan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat ini bertujuan untuk membandingkan kondisi pemenuhan hak pendidikan antara wilayah kontrol di Kota Pontianak dengan tiga wilayah perbatasan utama: Aruk (Sajingan Besar), Jagoi Babang, dan Entikong. Dengan mengusung pendekatan partisipatif dan berbasis data empiris, riset ini diharapkan menghasilkan model harmonisasi hukum yang lebih kontekstual dan sesuai dengan realitas sosial masyarakat perbatasan. Tim peneliti terdiri dari Dr. Endah Rantau Itasari, S.H., M.Hum. (Ketua), Dr. Evi Purwanti, S.H., LL.M. (Anggota), Yudith Evametha Vitranilla, S.H., M.H. (Anggota), Etra Arbas, S.H., M.Kn. (Anggota), dan Ervin Riandy, S.H., M.H. (Anggota). Selama kegiatan di Jagoi Babang, tim menjaring data melalui wawancara dan pengisian kuesioner yang melibatkan siswa, guru, kepala sekolah, orang tua murid, serta tokoh masyarakat lokal. Dalam pelaksanaan survei ini, tim peneliti juga menyempatkan kunjungan dan dialog langsung dengan sejumlah tokoh penting di wilayah Jagoi Babang. Mereka di antaranya: Gambar 1 Wawancara Camat Jagoi Babang Tim juga berdialog langsung dengan kepala sekolah dari berbagai jenjang pendidikan untuk memperoleh informasi lapangan yang lebih komprehensif, termasuk: Gambar 2 Wawancara Kepsek SMAN 1 Jagoi Babang Kehadiran dan keterlibatan tokoh-tokoh lokal ini memberikan kontribusi penting dalam memperkaya perspektif terhadap dinamika pendidikan di daerah perbatasan. Selain menggali tantangan dan hambatan dalam pemenuhan hak pendidikan, kegiatan ini juga mendorong partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses identifikasi masalah dan penyusunan solusi berbasis realitas lokal. Riset MIH-HRS ini tidak hanya memperlihatkan pentingnya pendekatan kolaboratif antarperguruan tinggi, tetapi juga membuka ruang dialog antara dunia akademik dan pemangku kepentingan lokal. Diharapkan, hasil akhir penelitian ini dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan hukum yang lebih inklusif, adaptif, dan berdampak langsung bagi masyarakat perbatasan Indonesia. Gambar 3 Observasi Perpustakaan di SDN 08 Risau

Safaruddin Harefa, S.H., M.H
Artikel, Berita, Opini

Aksi Menteri Komunikasi dan Digital Perangi Judi Online

Pontianak, 21 Oktober 2024, – Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, yang dilantik dalam Kabinet Merah Putih, menegaskan komitmennya dalam memberantas judi online sebagai salah satu prioritas dalam 100 hari pertama masa jabatannya. Tindakannya mencerminkan keseriusannya dalam menanggulangi maraknya perjudian daring yang telah merusak tatanan sosial dan ekonomi Indonesia. Judi online menjadi ancaman serius di tengah pesatnya perkembangan teknologi, di mana pelaku dan pemain judi semakin sulit terdeteksi, sering kali menyasar generasi muda yang rentan terhadap dampak negatifnya. Menteri Meutya, yang memiliki pengalaman dalam dunia politik dan digital, berencana untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap perjudian online. Pemberantasan judi online ini dilakukan melalui langkah-langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak, seperti lembaga pengawasan, penegak hukum, dan platform teknologi. Selain itu, kementerian juga berencana mengoptimalkan penggunaan teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan (AI), untuk mendeteksi dan memblokir situs judi online secara lebih efektif. Dalam 100 hari pertama, Meutya telah mengarahkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna menindak tegas penyedia situs judi online yang beroperasi tanpa izin di Indonesia. Upaya ini didorong oleh berbagai faktor, salah satunya adalah perkiraan bahwa transaksi judi online pada akhir tahun 2024 diperkirakan dapat mencapai Rp400 triliun, yang jika tidak segera dibendung, dapat menambah beban sosial dan ekonomi negara. Sebagai bagian dari strategi pemberantasan judi online, Menkodigi juga memperkuat kerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), yang bertugas untuk memantau dan menganalisis aliran dana yang terkait dengan kegiatan judi online. Menurut PPATK, sejumlah transaksi judi daring telah mencapai nilai yang sangat besar dan berpotensi merusak perekonomian digital negara. Pemerintah juga menggunakan alat dan regulasi yang ada untuk memblokir akses ke situs-situs judi online, serta menghentikan promosi yang merugikan ini melalui saluran-saluran digital yang sangat cepat dan mudah diakses masyarakat. Dalam melakukan langkah-langkah tersebut, pemerintah memiliki landasan hukum yang cukup kuat. Salah satu undang-undang yang relevan dalam upaya pemberantasan judi online adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. UU ITE ini memberikan dasar hukum untuk menindak tegas peredaran konten ilegal melalui internet, termasuk judi online. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang ITE yang mengatur tentang larangan penyebaran materi yang melanggar norma kesusilaan, ketertiban umum, dan hukum di dunia maya memberikan ruang bagi pemerintah untuk menghapus konten judi online yang mengancam moralitas publik. Selain UU ITE, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama juga turut memberikan landasan hukum dalam memberantas perjudian. Dalam pasal 303 KUHP lama, tindak pidana perjudian diatur dengan ancaman pidana yang cukup berat, baik bagi para penyelenggara maupun pemain judi. Pasal ini masih berlaku meskipun akan ada pembaruan melalui KUHP Baru yang saat ini sedang dalam tahap revisi. KUHP Baru yang dirancang mengakomodasi berbagai perkembangan digital, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi aparat penegak hukum untuk menindak kejahatan yang terjadi di dunia maya, termasuk perjudian online. Misalnya, dalam draft KUHP Baru, terdapat aturan yang memperjelas sanksi bagi mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan judi online, baik yang dilakukan oleh individu maupun organisasi. Menteri Komunikasi dan Digital juga berfokus pada pencegahan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya judi online, serta mendidik masyarakat mengenai dampak sosial dan ekonominya, menjadi bagian integral dari strategi pemberantasan judi. Pendidikan ini tidak hanya menyasar para pemain judi, tetapi juga masyarakat umum yang dapat menjadi korban kejahatan dunia maya yang berhubungan dengan perjudian. Kementerian Komunikasi dan Digital berharap melalui kampanye ini, masyarakat akan lebih peka dan berhati-hati dalam berinteraksi dengan platform digital. Selain upaya penegakan hukum yang lebih ketat, Menkodigi juga mendorong kerja sama lebih erat antara pemerintah, platform digital, dan sektor swasta untuk menciptakan sistem yang lebih aman bagi pengguna internet. Pemerintah berencana memperkenalkan regulasi yang mewajibkan penyedia layanan internet untuk bekerja sama dalam memblokir situs-situs judi online, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang lebih cepat bagi masyarakat. Ini akan memastikan bahwa langkah-langkah penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Upaya pemberantasan judi online ini juga perlu didukung dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan perjudian daring. Diperlukan pelatihan khusus bagi polisi dan jaksa untuk memahami dan mengimplementasikan hukum yang berlaku di dunia maya, termasuk pengawasan terhadap transaksi keuangan yang terkait dengan perjudian. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Menkodigidalam memberantas judi online adalah keberadaan situs judi yang terus berkembang dan beradaptasi dengan sistem enkripsi yang canggih. Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Digital harus terus berinovasi dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam menghadapi ancaman yang datang dari dunia maya. Dengan segala upaya yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital di bawah kepemimpinan Menkodigi Meutya Hafid, Indonesia diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari judi online. Pemberantasan judi daring ini akan melibatkan berbagai sektor, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor teknologi, untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.** *Penulis adalah dosen prodi Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Sumber Artikel: Pontianak Post

Muhammad Rafi Darajati
Artikel, Berita, Opini

Kebijakan Inkonstitusional Ekspor Pasir Laut

Di era kemerdekaan, negara Indonesia telah “bersumpah” sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa kita, bahwa salah satunya adalah untuk, “…memajukan kesejahteraan umum.” Tujuan yang tertuang di dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) ini mengindikasikan bahwa negara berjanji akan memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya demi rakyat Indonesia agar memiliki kesejahteraan yang baik dalam kesehariannya. Sumpah tersebut bahkan dipertegas tidak hanya di dalam pembukaan UUD NRI 1945 saja, melainkan juga dapat kita lihat di dalam batang tubuh. Di dalam pasal 33 misalnya, pada ayat 3 dan 4 dipertegas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar¬besar kemakmuran rakyat; serta perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan prinsip keberlanjutan. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat secara luas, bukan untuk keuntungan kelompok tertentu saja. Sehingga dalam hal ini negara memilki kewajiban agar kebijakan-kebijakannya tidak melanggar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat. Penulis mengantar pembaca dengan memulai pada pijakan normatif mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup dikarenakan saat ini terdapat kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi, yaitu kebijakan ekspor pasir laut. Kebijakan mengenai ekspor pasir laut kembali menjadi perhatian publik setelah diterbitkannya dua Peraturan Menteri Perdagangan yang membuka ekspor pasir laut. Kedua peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP Sedimentasi Laut) yang mengatur bahwa hasil sedimentasi laut berupa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut). Dalam dokumen tersebut, ditetapkan tujuh wilayah pesisir pengerukan sedimen laut. Pertama, Laut Jawa sekitar Kabupaten Demak. Kedua, Laut Jawa sekitar Kota Surabaya. Ketiga, Laut Jawa sekitar Kabupaten Cirebon. Keempat, Laut Jawa sekitar Kabupaten Indramayu. Kelima, Laut Jawa sekitar Kabupaten Karawang. Keenam, Selat Makassar, yaitu di perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan. Ketujuh, Laut Natuna-Natuna Utara, yaitu perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan. Dari perspektif hukum, setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan ekspor pasir laut perlu untuk dilarang, dan dapat dikatakan sebagai kebijakan yang inkonstitusional. Apabila kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, telah ditafsirkan mengenai Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitusional penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Pemaknaan pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat berarti bahwa mementingkan modal alam, dengan mengakui bahwa fungsi-fungsi ekologis tertentu, tidak tergantikan oleh modal buatan manusia. Fungsi-fungsi ini harus dipertahankan secara utuh, yang berarti generasi mendatang harus mewarisi kodal alam yang tidak lebih kecil dari yang ada saat ini. Jika kita melihat di dalam PP Sedimentasi Laut, tertuang bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di Laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Namun, di sisi lain, dalam Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut mengakui adanya potensi kerusakan ekosistem dari kegiatan pengisapan dan pemuatan pasir laut. Kemudian Kepmen tersebut mengatur upaya-upaya pemulihan atau rehabilitasi untuk mengatasi kerusakan tersebut. Salah satu upayanya adalah rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Padahal, PP Sedimentasi Laut menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan sedimen laut untuk melindungi ekosistem seperti mangrove dan terumbu karang. Maka terlihat adanya pertentangan yang membuat tujuan perlindungan dari PP Sedimentasi Laut diragukan. Melihat pengaturan pada Kepmen tersebut, terlihat bahwa kebijakan sedimen atau pasir laut tidak menganut prinsip pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Dampak terhadap pengisapan pasir laut dianggap dapat diatasi dengan upaya-upaya rehabilitasi. Padahal, fungsi ekosistem dari mangrove yang sudah bertahun-tahun bertahan dibanding dengan mangrove yang baru ditanam tentunya berbeda. Sehingga, kebijakan ini bertentangan dengan arah pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi. Untuk memastikan pelaksanaan konstitusi dalam kaitan pengelolaan sumber daya alam, maka sudah semestinya pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang dapat menyebabkan ekologis yang besar. Keuntungan yang didapatkan dari kebijakan ekspor pasir laut sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi kerugian yang ditimbulkan. Keuntungan yang didapatkan akan dirasakan oleh kelompok tertentu yang menjadi pemain utama saja. Sementara itu, kerugian akan dirasakan oleh masyarakat umum, terutamanya masyarakat pesisir. Negara memiliki kewajiban agar kebijakannya tidak melangar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana tertuang di dalam pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, PP Sedimentasi Laut juga bertentangan dengan Undang Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Di mana di dalam pasal 56 UU Kelautan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Membuka kesempatan penambangan dan ekspor pasir laut tentunya bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan yang diatur di UU Kelautan. Pembacaan yang utuh terhadap teks secara tekstual dan kontekstual terhadap Pasal 56 UU Kelautan, akan menghasilkan kesimpulan bahwa PP Sedimentasi laut bukanlah peraturan turunan yang dikehendaki UU Kelautan. PP Sedimentasi Laut juga tidak sejalan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), terkhusus di dalam pasal 96 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak taat asasnya sedimentasi laut ini adalah ketika proses pembentukannya dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik. Rancangan PP Sedimentasi Laut pada saat itu sulit untuk diakses, bahkan naskah akademiknya pun tidak tersedia untuk diakses oleh masyarakat umum. Ketidakselarasan berikutnya adalah dengan pasal 5 UU

Artikel, Berita

2 (DUA) TAPI 1 (SATU) SYARAT (I) PEPA-PT

OLEH : ERWIN(ANGGOTA PPM UNTAN) PENGANTAR IPEPA merupakan singkatan dari Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi. IPEPA sebagai makna pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi terhadap Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) mulai “diberlakukan” pada tahun 2020. Tapi “saat itu” IPEPA sebagai instrumen “tidak memiliki dasar hukum/tidak ada dasar hukum” yang menetapkannya, namun sebagai kegiatan “pemantauan” dan “evaluasi” terhadap Peringkat Akreditasi Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) tetap menjadi tolak ukur untuk menentukan kelayakan peringkat akreditasi yang akhirnya mendapat perpanjangan/tidak. Hal ini berbeda dengan Instrumen Suplemen Konversi (ISK) yang memiliki dasar hukum, Instrumen Suplemen Konversi (ISK) ditetapkan dengan Peraturan BAN-PT Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Instrumen Suplemen Konversi. Sebelum tahun 2020 tidak ada IPEPA, prosedur sebagaimana ketentuan jika masa akreditasi Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) akan berakhir maka wajib mengajukan akreditasi ulang paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa akreditasi berakhir. Pada (I) PEPA terdapat 2 (dua) kata kunci yaitu kata “pemantauan” dan “evaluasi” yang sebenarnya telah cukup lama tercantum dalam ketentuan yang terkait akreditasi terhadap Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT). Pertanyaannya, mengapa saat itu belum ada (I) PEPA ?. Menurut pendapat penulis bahwa saat itu sebelum tahun 2020 tidak ada “peluang” akreditasi otomatis, namun sejak terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2020 terdapat “peluang” akreditasi otomatis bagi Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) untuk mendapatkannya. Atas dasar itu (I) PEPA diberlakukan karena terdapat “peluang” akreditasi otomatis berkali-kali tanpa permohonan pengajuan akreditasi ulang sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran kendali mutu menjadi turun, sehingga diberlakukan (I) PEPA. Jadi (I) PEPA merupakan “jalan tengah dan keseimbangan”, boleh akreditasi otomatis tapi syarat dan ketentuan berlaku serta hanya 1 (satu) kali saja tidak berkali-kali. Dengan terbitnya Peraturan BAN-PT Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi Program Studi, dan Peraturan BAN-PT Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi, maka (I) PEPA memiliki dasar hukum yang menetapkannya. Pada kesempatan tulisan sederhana kali ini hanya mengenai (I) PEPA Perguruan Tinggi (PT) saja tapi secara prosedur dan proses dapat dikatakan sama makna (I) PEPA terhadap Program Studi (PS), perbedaannya hanya pada indikator dan persentase/jumlah/skor/nilai masing-masing indikator. Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi berlaku untuk: PERUBAHAN POKOK (KILAS BALIK)Sebagaimana (I) PEPA ditentukan sebelumnya bahwa terdapat 3 (tiga) tahap pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi namun dengan kebijakan baru (I) PEPA hanya 2 (dua) tahap pemantauan berdasarkan data kuantitatif di PDDIKTI dalam hal jika ada permintaan perbaikan data dan informasi paling lama 6 (enam) bulan dan pemantauan kembali setelah 6 (enam) bulan berakhir. Sebaliknya dalam hal jika tidak ada permintaan perbaikan data dan informasi di PDDIKTI, maka suatu Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) dinilai memenuhi syarat peringkat akreditasi sehingga mendapatkan perpanjangan otomatis. Perubahan (I) PEPA selain yang disebutkan di atas yakni peniadaan keperluan penyusunan Data Kinerja (DK) dan Laporan Evaluasi Kinerja (LEK), serta peniadaan Asesmen Lapangan. Selama ini permintaan keperluan penyusunan Data Kinerja (DK) dan Laporan Evaluasi Kinerja (LEK) jika telah masuk tahap 2 dan dilakukannya Asesmen Lapangan jika telah masuk tahap 3. SYARATNYASebagaimana Peraturan BAN-PT Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi, terdapat 2 (dua) tapi 1 (satu) syarat yaitu : Berikut ini disampaikan masing-masing 2 (dua) tapi 1 (satu) syarat perlu sebagaimana tercantum pada Peraturan BAN-PT Nomor 23 Tahun 2022. Pertama syarat perlu perpanjangan, dalam hal syarat perlu perpanjanganPeringkat Akreditasi Perguruan Tinggi terdiri dari 10 (sepuluh) indikator sebagai berikut : Ketentuan persyaratan 1 sampai dengan 8 harus seluruhnya dipenuhi, dan salah satu dari persyaratan 9 atau 10 harus dipenuhi. Selanjutnya dalam hal penetapan perpanjangan Peringkat Akreditasi ditentukan oleh evaluasi pemenuhan 9 (sembilan) indikator Syarat Perlu di bawah ini, yaitu indikator nomor 1 sampai dengan 8, dan salah satu dari indikator nomor 9 atau 10 sebagai berikut : KONSEKUENSIPada Peraturan BAN-PT Nomor 1 Tahun 2022, pengaturan yang berkenaan (I) PEPA terdapat pada Pasal 3 ayat 5 sampai dengan 12. Salah satu hal penting (I) PEPA, kapan pemantauan dilakukan ?. Dalam hal (I) PEPA dari sisi waktu ditentukan pada ayat 6 “………. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sekurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan paling lambat dilakukan 1 (satu) tahun sebelum jangka waktu Peringkat Akreditasi berakhir”. Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa “………. Mekanisme pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh DE dengan ketentuan sebagai berikut:a. pemantauan dilakukan berdasarkan data dan informasi pada PDDIKTI;b. apabila hasil pemantauan mengindikasikan bahwa data dan informasi pada PDDIKTI tidak memenuhi syarat untuk perpanjangan PeringkatAkreditasi yang sama, maka Perguruan Tinggi akan diminta oleh DE untuk memperbaiki data dan informasi pada PDDIKTI dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan;c. dalam hal Perguruan Tinggi diminta untuk melakukan perbaikan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, DE melakukan pemantauan kembali berdasarkan data dan informasi pada PDDIKTI setelah waktu 6 (enam) bulan berakhir; Dalam hal hasil pemantauan terdapat pada ketentuan ayat 9 “………. Hasil proses pemantauan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa:a. syarat Peringkat Akreditasi masih terpenuhi untuk selanjutnya akan dijadikan dasar perpanjangan Keputusan Peringkat Akreditasi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya; ataub. syarat Peringkat Akreditasi tidak lagi dipenuhi, sehingga BAN-PT mencabut Keputusan Peringkat Akreditasi yang telah diberikan dan menetapkan Keputusan Peringkat Akreditasi yang lebih rendah dengan sistem peringkat yang sama dengan sistem peringkat sebelumnya. PENUTUPDengan terbitnya Peraturan BAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 maupun Peraturan BAN-PT Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2022, pada prinsipnya kepada Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) berkewajiban untuk melakukan pemutakhiran (updating) data secara valid dan sahih di PDDIKTI. Indikator yang ditentukan khususnya Peraturan BAN-PT Nomor 23 Tahun 2022 menjadi acuan kondisi “existing” bagi Perguruan Tinggi (PT) untuk melakukan “self assesment” agar mawas diri dan bersiap diri dalam hal apakah lolos atau tidak (I) PEPA?. Oleh karena itu keandalan serta valid dan sahihnya data di PDDIKTI menjadi sangat penting. Sekian tulisan singkat ini, mohon maaf jika terdapat kekurangan/kesalahan kata dan atau istilah

Artikel, Berita

LOLOS IPEPAKAH UNTAN ?

Oleh: ERWIN (Anggota PPM UNTAN) PENGANTARSebagaimana ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi ditegaskan bahwa “Tahapan Akreditasi terdiri atas:a. evaluasi data dan informasi;b. penetapan peringkat Akreditasi; danc. pemantauan dan evaluasi peringkat Akreditasi”. Point yang penting dari ketentuan di atas yakni pada point c “pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi”, terhadap Program Studi dan Perguruan Tinggi. Lebih lanjut terkait “pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi” di atur pada Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut : “Tahap pemantauan dan evaluasi peringkat Akreditasisebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c meliputi:a. LAM atau BAN-PT melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemenuhan syarat peringkat Akreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan,berdasarkan data dan informasi dari: PDDIKTI; fakta hasil asesmen lapang; dan/atau direktorat terkait.b. peringkat Akreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi dapat dicabut sebelum masa berlakunya berakhir, apabila Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi terbukti tidak lagi memenuhi syarat peringkat Akreditasi”. Substansi makna point penting dari ketentuan di atas yakni “Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi terbukti tidak lagi memenuhi syarat peringkat Akreditasi”, bahkan dapat dicabut sebelum masanya berakhir. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius bagi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Mengapa?, karena akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi. MEKANISME AKREDITASI BAN-PTMenindaklanjuti pelaksanaan akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT, maka ditetapkan PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Mekanisme Akreditasi Untuk Akreditasi Yang Dilakukan Oleh BAN-PT. Suatu hal yang menarik dari PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 bahwa untuk pertama kali “makna pemantauan dan evaluasi” terhadap peringkat akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi di implementasikan secara lebih detail dan konkrit serta berdampak, sebelumnya tidak pernah di implementasikan seperti itu. Sebagai tindak lanjut implementasi tersebut, maka ditetapkanlah IPEPA (Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi) untuk Program Studi dan Perguruan Tinggi. Dalam IPEPA ditentukan bahwa pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi terdiri atas Tahap 1, Tahap 2 dan Tahap 3, artinya terdapat 3 (tiga) tahap. Kegiatan pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi tidak harus sampai tahap 3 tergantung hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh BAN-PT. Namun, PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 telah diganti dengan PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022. Masihkah sama makna keterlaksanaan pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi yang terdiri dari 3 (tiga) tahap?. Jawabannya “tidak sama” artinya ada perubahan mekanisme pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT. Kebijakan baru pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT bahwa BAN-PT akan melakukan pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi menjadi 2 (dua) tahap pemantauan berdasarkan data kuantitatif di PDDIKTI, peniadaan keperluan penyusunan Data Kinerja (DK) dan Laporan Evaluasi Kinerja (LEK), serta peniadaan Asesmen Lapangan. Dasar yuridisnya dimana ? Pada ketentuan Pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa “ ……… Mekanisme pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh DE dengan ketentuan sebagai berikut:a. pemantauan dilakukan berdasarkan data dan informasi pada PDDIKTI;b. apabila hasil pemantauan mengindikasikan bahwa data dan informasi pada PDDIKTI tidak memenuhi syarat untuk perpanjangan PeringkatAkreditasi yang sama, maka Perguruan Tinggi akan diminta oleh DE untuk memperbaiki data dan informasi pada PDDIKTI dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan;c. dalam hal Perguruan Tinggi diminta untuk melakukan perbaikan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, DE melakukan pemantauan kembali berdasarkan data dan informasi pada PDDIKTI setelah waktu 6 (enam) bulan berakhir; Dalam hal hasil pemantauan terdapat pada ketentuan ayat 9 “……… Hasil proses pemantauan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa:a. syarat Peringkat Akreditasi masih terpenuhi untuk selanjutnya akan dijadikan dasar perpanjangan Keputusan Peringkat Akreditasi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya; ataub. syarat Peringkat Akreditasi tidak lagi dipenuhi, sehingga BAN-PT mencabut Keputusan Peringkat Akreditasi yang telah diberikan dan menetapkan Keputusan Peringkat Akreditasi yang lebih rendah dengan sistem peringkat yang sama dengan sistem peringkat sebelumnya. Hal tersebut berarti jika peringkat akreditasi “A dapat turun ke “B”, jika peringkat akreditasi “B” dapat turun ke “C”, tapi jika peringkat akreditasi “C” tidak ada lagi peringkat di bawahnya. Bagaimana dengan Program Studi dan Perguruan Tinggi dengan peringkat akreditasi “C” jika hasil pemantauan dan evaluasi tidak memenuhi syarat peringkat sedangkan Program Studi dan Perguruan Tinggi wajib terakreditasi. Hal ini diatur pada Pasal 3 ayat 12 PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 “……… Dalam hal Program Studi atau Perguruan Tinggi yang berdasarkan penetapan Peringkat Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak memenuhi syarat Peringkat Akreditasi, Pemimpin Perguruan Tinggi dapat mengajukan Akreditasi dengan menggunakan IAPS 4.0 untuk Program Studi dan IAPT 3.0 untuk Perguruan Tinggi setelah mendapatkan pembinaan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang dari Kementerian Agama untuk Perguruan Tinggi Keagamaan dan Kementerian untuk Perguruan Tinggi lainnya“. Ketentuan Pasal 3 ayat 12, menurut pendapat penulis dalam hal jika Program Studi atau Perguruan Tinggi tidak memenuhi syarat peringkat akreditasi yang “terendah”, maka dapat mengajukan Akreditasi dengan menggunakan IAPS 4.0 untuk Program Studi dan IAPT 3.0 untuk Perguruan Tinggi. LOLOSKAH UNTAN ?Berdasarkan Keputusan BAN-PT Nomor 165/SK/BAN-PT/Akred/PT/IV/2019, menyatakan bahwa Universitas Tanjungpura, Kota PontianakTerakreditasi dengan peringkat Terakreditasi A. Sertifikat akreditasi Perguruan Tinggi ini (UNTAN) berlaku 5 (lima) tahun sejak tanggal 9 – April – 2019 sampai dengan 9 – April – 2024. Mengacu dasar yuridis di atas bahwa akreditasi UNTAN akan berakhir 9 April 2024. Masih ada masa berlaku akreditasi 2 (dua) tahun, tapi jangan “lengah” dan terbuai “zona nyaman”, tiada terasa waktu terus berlalu. Pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi pasti dilakukan oleh BAN-PT. Kapan pemantauan dan evaluasinya ? Sebagaimana PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 yakni pada Pasal 3 ayat 6 yang berbunyi “……… Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sekurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan paling lambat dilakukan 1 (satu) tahun sebelum jangka waktu Peringkat Akreditasi berakhir”. Loloskah UNTAN ?. Apa dan bagaimana Instrumen PEPA ?. Ternyata masih menunggu, menunggu apa ? Sebagaimana Surat Edaran BAN-PT Nomor : 073/BAN-PT/LL/2022 Tentang Penyederhanaan Mekanisme PEPA, maka masih menunggu revisi instrumen dalam hal ini dengan terbitnya PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022, Dewan Eksekutif akan segera melakukan revisi Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi (IPEPA). Namun jika mengacu IPEPA sebelumnya sebagai gambaran dapat disampaikan sebagai berikut : “……… Syarat Perlu Perpanjangan

Artikel, Berita

ISK “MENDUA” ? KENAPA ?

OLEH : ERWIN (ANGGOTA PPM UNTAN) PENGANTARInstrumen Suplemen Konversi, yang selanjutnya disingkat ISK sebagai suatu pengaturan untuk pertama kali tercantum pada Peraturan BAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Mekanisme Akreditasi Untuk Akreditasi Yang Dilakukan Oleh BAN-PT. PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 telah diganti dengan PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022. ISK sebagai suatu pengaturan tetap tercantum pada PERBAN-PT yang baru sedangkan ISK sebagai suatu instrumen telah ditetapkan melalui PERBAN-PT Nomor 2 Tahun 2020. Sebelumnya tidak ada instrumen konversi apapun bentuk dan namanya yang dipergunakan BAN-PT dalam pelaksanaan akreditasi bagi Program Studi atau Perguruan Tinggi. Pertanyaannya, mengapa diberlakukan ISK?. Pemberlakuan ISK pada prinsipnya disebabkan perubahan/peralihan Peringkat Akreditasi atau Peringkat Terakreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT yang terdiri atas:a. A, B, dan C, untuk Akreditasi yang dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi 7 Standar; danb. Unggul, Baik Sekali, dan Baik untuk Akreditasi yang dilakukan dengan IAPS 4.0 dan IAPT 3.0. Peringkat Akreditasi mengalami perubahan dari yang sebelumnya menggunakan peringkat A, B, dan C menjadi Unggul, Baik Sekali, dan Baik yang disebabkan pemberlakuan IAPS 4.0 dan IAPT 3.0. Hal ini pun sesuai dengan ketentuan “saat itu” Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi,serta Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 32 Tahun 2016 Tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Dua ketentuan di atas, salah satunya terdapat pasal yang mengatur Peringkat Akreditasi yang terdiri atas Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Namun belum diberlakukan/diterapkan hingga pemberlakuan Instrumen Akreditasi Program Studi 4.0 yang selanjutnya disebut IAPS 4.0 sejak tanggal 1 April 2019 dan Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi 3.0 yang selanjutnya disebut IAPT 3.0 yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2018. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 32 Tahun 2016 telah diganti dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2020. Hal yang sama yakni salah satu ketentuannya mengatur Peringkat Akreditasi yang terdiri atas Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Apa konsekuensinya ?, akibatnya Peringkat Akreditasi bagi Program Studi atau Perguruan Tinggi terdapat 2 kategori yakni Peringkat Akreditasi A, B, dan C dan Peringkat Akreditasi Unggul, Baik Sekali, dan Baik, sehingga keberlangsungan dan proses Peringkat Akreditasi terdapat 2 (dua) sisi yaitu peringkat sebelumnya dan peringkat baru. Dalam rangka untuk menilai dan atau mengukur yang sebelumnya dalam hal ini Peringkat Akreditasi A, B, dan C dengan menggunakan Instrumen Akreditasi 7 Standar maka diperlukan instrumen khusus untuk konversi ke Peringkat Akreditasi Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Berdasarkan hal tersebut BAN-PT memberlakukan ISK untuk melakukan konversi :a. dari peringkat akreditasi A ke peringkat akreditasi Unggul;b. dari peringkat akreditasi B ke peringkat akreditasi Baik Sekali;c. dari peringkat akreditasi C ke peringkat akreditasi Baik. ISK “MENDUA”? PART IPemberlakuan ISK sebagai suatu pengaturan sebagaimana tercantum pada PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020, pada kesempatan ini ijinkan penulis mengkategorikan menjadi 2 (dua) yaitu bersifat “Tidak Wajib” dan “Wajib”. Hal ini dapat disimak pada ketentuan Pasal 9 ayat 9 huruf a PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 yang berbunyi : “ …….. Program Studi atau Perguruan Tinggi yang memiliki Peringkat Terakreditasi A, B, atau C dan masih berlaku dapat:a. mengajukan usulan konversi peringkat dari A ke Unggul, B ke Baik Sekali, dan C ke Baik, dengan menggunakan ISK …….. “. Dalam hal jika suatu Program Studi atau Perguruan Tinggi mengajukan ISK dan hasilnya tercapai, maka pada hakikatnya tidak menambah masa berlaku akreditasi. Hasilnya hanya beralih yang sebelumnya A menjadi Unggul, B menjadi Baik Sekali dan C menjadi Baik. Tapi pengajuan ISK sifatnya “Tidak Wajib” sebagaimana ketentuan di atas. Teks hukumnya menggunakan kata “dapat” artinya boleh “ya” dan boleh “tidak” dalam hal pengajuan ISK. Lalu bagaimanakah ketentuan bahwa ISK menjadi “Wajib”. ISK menjadi “Wajib” terdapat pada ketentuan Pasal 9 ayat 12 yang menyebutkan “…….. Perpanjangan Peringkat Akreditasi bagi Program Studi atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) hanya berlaku 1 (satu) kali dan pada perpanjangan berikutnya akan ditambah dengan ISK sehingga Peringkat Akreditasi bagi APS atau APT tersebut akan menggunakan Peringkat Akreditasi Unggul, Baik Sekali atau Baik ……..”. Mengacu pada ketentuan di atas berarti ISK menjadi “Wajib” ketika Program Studi atau Perguruan Tinggi telah mendapatkan perpanjangan akreditasi secara otomatis sebagaimana syarat dan ketentuan berlaku. Saat sampai waktunya pengajuan ulang akreditasi, maka ISK menjadi “Wajib” disebabkan masih menggunakan Peringkat Akreditasi sebelumnya A, B, dan C. ISK “MENDUA” ? PART IISebagaimana disampaikan awal tulisan ini bahwa PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Mekanisme Akreditasi Untuk Akreditasi Yang Dilakukan Oleh BAN-PT telah diganti dengan PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022. Meskipun terdapat penggantian aturan tapi hal berkenaan ISK sebagai suatu pengaturan tetap tercantum pada PERBAN-PT yang baru. Ketentuan PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 terkait ISK sebagai suatu pengaturan, pada kesempatan ini ijinkan penulis mengkategorikan menjadi 2 (dua) yaitu “Membedakan” dan “Mewajibkan Sebagian”, seperti apa maknanya. Pertama makna “Membedakan”, hal tersebut dapat dipahami pada ketentuan Pasal 9 ayat 1 PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 yang mencantumkan “…….. Peringkat Terakreditasi C yang masih berlaku yang dimiliki Program Studi atau Perguruan Tinggi yang berstatus aktif di PDDIKTI dan pada saat Peraturan BAN-PT ini ditetapkan, khusus untuk Program Studi, masih berada dalam lingkup akreditasi BAN-PT akan dikonversi menjadi Peringkat Akreditasi Baik tanpa melalui pengajuan konversi Peringkat Akreditasi”. Klausul ini penulis menyebutnya klausul “ Konversi Otomatis”. Berdasarkan ketentuan tersebut untuk Program Studi atau Perguruan Tinggi meskipun tanpa pengajuan atau pengisian ISK sepanjang dengan Peringkat Akreditasi C, maka akan mendapat “Konversi Otomatis”. Pengaturan ISK pada PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 secara makna pertama “Membedakan” seperti itu. Pertanyaannya kenapa ditentukan seperti itu?, apa faktor penyebabnya?. Ketentuan lebih lanjut pada Pasal 9 ayat 2 PERBAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 berbunyi “…….. Peringkat Akreditasi Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku hingga berakhirnya Peringkat Terakreditasi C sebelum dikonversi”. Artinya konversi melalui ISK tidak menambah masa berlaku akreditasi bagi Program Studi atau Perguruan Tinggi. Kedua, makna “Mewajibkan Sebagian”. Dalam hal Peringkat Akreditasi A atau B, pengaturannya terdapat pada Pasal 9 ayat 3 huruf a yang berbunyi “…….. Program Studi atau Perguruan Tinggi yang memiliki Peringkat Terakreditasi A atau B dan masih berlaku dapat:a. mengajukan usulan konversi peringkat dari A ke Unggul, B ke Baik Sekali dengan menggunakan ISK …….. “.

Artikel

MEMBANTU MAHASISWA MELAKUKAN ANALISIS DALAM DISKUSI TERFOKUS MASALAH HUKUM TERTULIS

Mahasiswa Hukum ketika masuk ke fakultas hukum mereka tidak langsung pembagian bidang hukum tetapi  diberikan dasar-dasar ilmu hukum kemudian pada tahap selanjutnya diberikan dasar dasar yang lebih khusus sesuai bidang hukum pada mata kuliah wajib, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum perdata, hukum internasional, hukum Islam dst. Hakekatnya adalah dimaksudkan agar mahasiswa hukum memahami konsep konsep dasar dan teori-teori dasar dari ilmu hukum, yang kelak ketika membuat karya ilmiah yang ditugaskan oleh dosen maupun karya akhir skripsi, tesis dan disertasi menjadi mudah menuangkan, walaupun untuk hal ini ada mata kuliah sendiri Metode Penulisan atau Penelitian Hukum, yang sebenarnya hanya satu bagian teknis menulis dan menarasikan sebuah karya ilmiah. Berikut ini dipaparkan sebuah tahapan sederhana untuk memudahkan ketika membuat narasi ilmiah maupun melatih mahasiswa hukum melakukan diskusi terfokus berkaitan dengan masalah masalah hukum.             Sebuah hukum tertulis yang selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan jika kita meminjam analogi teknologi digital, adalah hardware, sedangkan bentuk jabaran yang berupa bentuk peraturan perundangan mulai bentuknya berserta materi muatannya dari level tertinggi sampai pada level terendah yang ada di negara itu adalah softwarenya, sedangkan model penegakannya, implementasinya adalah perangkat aplikasinya, sedangkan manusia yang membuatnya, yang menegakannya atau menggunakannya adalah brainware. TAHAP PERTAMA KATEGORISASI HUKUM                 Kategorisasi dalam arti klasik mulai akan tersedia dalam konteks filsafat ilmu dalam karya-karya Plato yang memperkenalkan pendekatan mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan kesamaan fitur dalam dialog negarawan beliau. Pendekatan ini diselami lagi dan disistemkan oleh Aristoteles dalam karya Kategori, yang mana beliau mengupas perbedaan antara kelas dan objek. Aristoteles juga menerapkan skema kategorisasi klasik secara intensif dalam pendekatannya kepada klasifikasi sesuatu, misalnya apakah sesuatu itu bersifat umum atau bersifat khusus.                 Menurut pandangan paham Aristoteles yang klasik, bahwa kategori adalah entitas detail yang memiliki sekumpulan sifat tertentu yang dimiliki oleh anggotanya. Dalam filsafat analitik, sifat-sifat ini dianggap sebagai menentukan syarat-syarat yang perlu dan cukup untuk menangkap makna. Menurut pandangan klasik, kategori seharusnya didefinisikan dengan jelas, saling menyisihkan dan menyeluruh secara kolektif. Dengan ini, setiap entitas dari sesuatu obyek yang akan dianalisis, maka dilakukan penjelasan tertentu, tanpa diragukan lagi milik hanya satu kategori yang diusulkan.Dalam dunia modern kategorisasi adalah kita melakukan klasifikasi terhadap obyek yang masih bersifat umum/general yang akan dijadikan obyek analisis yang bersifat khusus.               Berdasarkan pemahaman tentang kategorisasi diatas ketika diaplikasikan dalam bidang hukum, maka kita dapat melakukan kategorisasi hukum, bahwa secara klasik kategorisasi klasik hukum terklasifikasi kedalam hukum publik atau hukum privat, dalam klasifikasi bidang hukum modern bisa multi dimensi, karena dibidang hukum publikpun ada dimensi hukum privatnya, artinya dengan melakukan klasifikasi pada bidang hukum tertentu yang akan kita kaji dan atau riset, misalnya hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dst, perlunya skema kategorisasi hukum.                Ketika sudah dilakukan klasifikasi terhadap kategorisasi hukum, apapun klasifikasi yang dipilih terhadap obyek yang dikaji atau menjadi bahan analisis, selanjutnya kita melakukan skema kategorisasi hukum, sebagaimana kita ketahui bahwa hukum terbagi dua klasifikasi hukum tertulis dan hukum tidak terlulis, ketika kita memilah hukum tertulis dalam kategorisasi hukum, maka proposisinya harus jelas  dahulu dan disepakati bersama, proposisi yang sudah dipahami bersama dan disepakati bersama, bahwa hukum tertulis itu dikonsepkan sebagai peraturan perundang-undangan, itulah hukum yang sudah dikonsepsi dalam norma-norma hukum didalam formulasi norma teks hukum tertulis yang tertera pada salah satu komponennya pasal-pasal dan penjelasannya di dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.             Masih dalam tahap kategorisasi hukum,  berkaitan dengan klasifikasi hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan, maka yang perlu dipahami oleh peminat kajian hukum adalah perlu melakukan pemetaan terhadap pengertian  dasar peraturan perundang-undangan dengan memahami terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan.             Dalam proposisi hukum tertulis di Indonesia, konsepsi peraturan peraturan perundang-undangan telah diberikan batasan pengertian. Norma hukum tertulis adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, norma hukum tertulis diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan norma hukum tertulis. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan secara tegas: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.              Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, maka dalam kategorisasi hukum kita melakukan pengelompokan, yang dimaksud pengelompokan disini adalah  dihasilkan dari upaya untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan umum digambarkan. Dalam pendekatan ini, kelas-kelas (gugusan atau entitas) mula-mula merumuskan pemberian konsepsinya, kemudian mengklasifikasikan entitas itu menurut pemberian klasifikasi tersebut.             Pada tataran tahap kategorisasi hukum pemberian klasifikasi adalah melakukan struktur hukum tertulis, yakni peraturan perundang-undangan distruktur agar memudahkan ketika membuat konstruksi hukum tertulis dari peraturan perundang-undangan. Pengelompokan dimaksud melalui pemahaman terhadap struktur hukum tertulis dengan memahami terlebih dahulu konsep dan teori  hirarki peraturan perundang-undangan yang dibangun konsepsi dari kategorisasi teori norma hukum. Sistem perundang-undangan dikenal di Indonesua struktur hukum  terdapat didalamnya ada suatu hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.  Jadi hadirnya struktur hukum tertulis-Peraturan Perundang-undangan tentu ada sistemnya yang terstruktur. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya terstruktur sebagai berikut:      a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.      Peraturan Pemerintah; e.       Peraturan Presiden; f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.             Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, terdapat peraturan perundangan-undangan yang diluar hierarki. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1)      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai mana dimaksud  dalam  Pasal  7 ayat  (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan  Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah  Konstitusi, Badan  Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah  Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.             Berdasarkan hirarki di atas, maka kategorisasi hukum tertulis/peraturan perundang-undangan, maka dapat diklasififikasi hukum tertulis di Indonesia, yakni ada peraturan perundang-undangan yang kategorinya terdapat didalam hirarki peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan

Artikel

TINJAUAN ASAS NON RETROAKTIF (LEGALITAS) DALAM STATUTA ROMA 1998

Oleh: Ria Wulandari, Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura._repository.untan.ac.id PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Setiap Negara memiliki hak untuk menegakkan ketentuan-ketentuan pidananya (jus puniendi). Hak untuk menjatuhkan pidana mensyaratkan dipenuhinya norma-norma tertentu, yakni norma yang mengatur keberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan tempat tindakan tersebut dilakukan. Khusus yang berkenaan dengan waktu, sangat penting dalam pemberlakuan hukum pidana. Hakim harus menerapkan undang-undang yang berlaku pada waktu delik dilakukan (tempora delicti). Bila suatu tindakan yang memenuhi rumusan delik ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang terkait, tindakan tersebut tidak hanya tidak dapat dituntut ke muka pengadilan tetapi juga pihak yang berkaitan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu sebagai syarat dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana.[1]Dengan kata lain hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut (Non Retroactif). Hampir seluruh Negara didunia menganut asas non retroaktif dalam hukum nasionalnya. Amerika adalah Negara pertama yang menganut asas ini yakni dalam konstitusi tahun 1783 dan sesudah itu dalam pasal 8 Declaration de Droits de l’homme et Du Citoyen tahun 1789 yang dikumandangkan setelah revolusi Prancis berisi  : “Nulne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulquee anterieurement au delit et legalement appliqué” (tidak ada seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum yang disusun dan diundangkan sebelum delik tersebut ditetapkan secara legal). Asas ini kemudian  dikenal dengan asas legalitas. Prancis memasukkan asas legalitas dalam konstitusinya pada tahun 1958 dalam pasal 7 dan 8 yang mana asas legalitas tersebut tidak saja diatur dalam hukum pidana materiil tapi juga hukum pidana formil. Jerman, Belgia, Spanyol, Italia,Hongaria,Republik Portugal adalah Negara yang pada hakikatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan merupakan pelanggaran pidana apabila diatur terlebih dahulu berdasarkan hukum nasionalnya. Selain itu terdapat pembatasan-pembatasan antara lain dianutnya asas tempore delicti (pada waktu delik dilakukan) oleh Belanda dalam pasal 1 ayat 2 WvS : “ Bij veradering in de wetgeving na t tijdstip waarop het feit began is, woorden de voor den vardachte gunstigste bepalingen toegepast”. Demikian pula pasal 1 ayat 2 KUHP Indonesia berbunyi : “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Hal yang sama juga terdapat dalam undang-undang Jerman yang dengan tegas menyatakan, “Bei verschiedenheit der gesetze von der zeit der bengangenen handlung bis zuderen aburteilung ist das mildest gesetz anzuwneden.” Jika ada perbedaan antara ketentuan pidana yang kemudian berlaku pada waktu tindak pidana yang sama diperiksa di pengadilan, ketentuan pidana yang paling ringanlah yang harus ditetapkan.[2] Sedangkan di inggris yang system hukumnya dibangun berdasarkanhukum kebiasaan (Common Law), mulai menuliskan semakin banyak delik kedalam perundang-undangannya (Statute Law).[3] Asasn non retroaktif secara universal juga diakui oleh hukum internasional public yang terwujud dalam pelbagai perjanjian-perjanjian internasional. Dapat disebutkan antara lain di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No 217A (III) pada tanggal 10 desember 1948 dalam pasal 11 ayat 1 dan 2, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam pas 15 ayat 1 dan 2, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi dan Kebebasan-Kebebasan Mendasar (ECHR) dalam pasal 7, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 9, Piagam afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk  dan terakhir dalam Statuta Roma 1998. Secara umum perjanjian-perjanjian internasional tersebut selain memberi perlindungan terhadap kekuatan berlaku surut juga memuat ketentuan bahwa jika terjadi perubahan peraturan, pelaku harus dijatuhi hukuman yang tidak lebih berat daripada saat pelaku melakukan perbuatan kriminalnya. Khusus mengenai ketentuan ICCPR pasal 15 ayat 1 nya menggunakan asas non retroaktif yang dapat diadaptasikan jika bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui oleh masyaraka bangasa-bangsa. Menurut Travaux Preparatories, ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada orang yang bebas dari hukuman karena melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional dengan alasan bahwa tindakannya legal menurut hukum negaranya. Acuan terhadap hukum internasional juga merupakan jaminan tambahan bagi individu, yan melindungi individu dari tindakan seweang-wenang meskipun tindakan itu dilakukan oleh organisasi internasional.[4] Asas non retroaktif ini kemudian mulai disimpangi akibat munculnya kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi di beberapa Negara. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan merupakan petaka yang meninggalkan duka mendalam sehingga mengharuskan digunakannya tindakan-tindakan tertentu yang berbeda dengan aturan-aturan sebelumnya. Contoh mengenai hal ini adalah putusan-putusan yang dikeluarkan hakim Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Mahkamah Militer bekas Yugoslavia dan Rwanda serta putusan pengadilan nasional Israel atas kasus jendral Adolf Eichman yang telah menggunakan asas retroaktif dalam putusannya. Asas retroaktif kemudian menjadi asas yang diakui khususnya dalam bidang hukum pidana internasional.[5] Meski asas non retroaktif telah diakui dalam hukum pidana internasional, namun Statuta Roma sebagai dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang khusus mengadili kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan masih tetap mempertahankan asas non retroaktif (yang sudah bukan merupakan asas universal) yang termaktub dalam pasal 24 tentang ratione personae non retroactif. Asas non retroaktif yang dianut oleh Statuta roma 1998 memiliki unsur politis karena sebagian besar Negara memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya rekonsiliasi nasional. Otto Trifterer member komentar bahwa ketentuan ini lebih pada “change in the law; rationale and benefit of more favorable law.[6] Permasalahan Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji : Tinjauan Asas Non Retroaktif (Legalitas) Pengertian Asas Didalam hukum nasional maupun hukum internasional terdapat beberapa asas yang berlaku secara universal salah-satunya adalah asas non retroaktif. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang asas non retroaktif, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum. Menurut Mochtar kusumaatmadja, asas hukum umum ialah asas yang mendasari sistem hukum modern.[7] Sementara menurut J.H.P Bellefroid, asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok.[8] Lebih lanjut, aturan-aturan pokok ini dapat digunakan untuk menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasarkan pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada diungkapkan leh Van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Pendapat lain

Artikel

Penemuan Hukum Oleh Hakim (Rechtvinding)

Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas : Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22 AB dan Pasal 14 Undang-undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”.Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding). Hakim membuat Undang-undang karena Undang-undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan hukum. Seolah-olah Hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk per Undang-undangan. Pasal 21 AB menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim tidak berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pasal 1917 (2) KUHPerdata yang menentukan “bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan tersebut. Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum. Namun demikian tidak semua ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas dan sebagai reaksinya lahirlah aliran yang menolak dan menerima penemuan hukum oleh hakim: Sedangkan hukum kontinental [seperti di Indonesia] mengenal penemuan hukum yang heteronom sepanjang Hakim terikat kepada Undang-undang. Tetapi penemuan hukum Hakim tersebut mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat disebabkan Hakim harus menjelaskan atau melengkapi Undang-undang menurut pendangannya sendiri. Lebih lanjut lahir pula suatu aliran yang mengetengahkan Metode penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam melaksanakan Undang-undang apabila terjadi peristiwa konkrit. Undang-undang sebagai kaedah umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh sebab itu harus dilaksanakan/ditegakkan. Agar dapat memenuhi azas bahwa setiap orang dianggap tahu akan Undang-undang maka undang-undang harus disebar luaskan dan harus jelas. Kalaupun Undang-undang itu jelas tidak mungkin lengkap dan tuntas, tidak mungkin Undang-undang mengatur segala kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas karena kegiatan menusia sangat banyaknya. Selain itu Undang-undang sebagai hasil karya menusia yang sangat terbatas kemampuannya.Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada peristiwanya. Seorang Sarjana terkemuka Carl Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran yaitu rekontruksi pikiran yang tersimpul dalam Undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat dipergunakan semaunya tetapi pelbagai kegiatan yang semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan yaitu penafsiran Undang-undang. Yang memerlukan penafsiran ialah terutama perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian itu cukup jelas kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.Selanjutnya Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh : Mengenai penafsiran Hukum inipun mempunyai metode penafsiran antara lain : Akhirnya dari uraian2 di atas dapat disimpulkan bahwa : Sumber: Ditjenpp Kemenkumham

Artikel

Menelisik Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum di Dunia

Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum. Ilmu hukum berasal dari Bangsa Romawi, karena bangsa ini telah dianggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Konsekuensinya perkembangan dan penyempurnaan hukum di negara-negara lain selalu dipengaruhi oleh Hukum Romawi. Bahwa, ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan. Ilmu yang formal tentang hukum positif sintesa ilmiah tentang asas- asas yang pokok dari hukum. Ilmu hukum adalah nama yang diberikan untuk mempelajari hukum suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teorotis, yang berusaha mengungkapkan asas–asas yang pokok dari hukum. Awal mula timbulnya ilmu hukum berawal dari tradisi peradaban barat. Peradaban barat bersumber kepada peradaban Yunani dimana negara dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat oleh manusia. Dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsipsentral kehidupan. Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah tahun 1200 SM yaitu bermula sejak Dorian yang datang dari utara menduduki pusat kekuasaan Mysia (sebuah daerah di Asia kecil). Mereka tidak membawa pola pemerintahan mereka, sehingga mereka mendirikan negara-negarakota yang dalam bahasa Yunani disebut Polis (dari kata polis inilah timbul kata policy, politics dan police yang semuanya berkaitan dengan polis atau negara). Penemuan hukum lahir dari proses pergulatan dua paham besar yang saling tarik-menarik antara kepentingan kepastian hukum menurut undang-undang dan keadilan sesuai denyut nadi kehidupan masyarakat. Di Indonesia, penemuan hukum memiliki kecenderungan pola seperti negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Namun dalam perkembangan sejarah penemuan hukum, posisi hakim bukan lagi heteronom dalam pengertian tidak menjalankan peran secara mandiri. Hakim dapat melakukan penemuan hukum (penemuan hukum oleh Hakim “Rechtvinding“,-pen.) secara otonom dengan memberi bentuk pada isi undang-undang sesuai kebutuhan hukum. Sejarah ilmu hukum adalah sejarah ilmu untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan yang dihadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi yang kuat. Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukumakan dapat melengkapi pengetahuan kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut. [Cut Mutiawati]

Scroll to Top