Prodi Hukum Untan

Safaruddin Harefa, S.H., M.H
Artikel, Berita, Opini

Aksi Menteri Komunikasi dan Digital Perangi Judi Online

Pontianak, 21 Oktober 2024, – Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, yang dilantik dalam Kabinet Merah Putih, menegaskan komitmennya dalam memberantas judi online sebagai salah satu prioritas dalam 100 hari pertama masa jabatannya. Tindakannya mencerminkan keseriusannya dalam menanggulangi maraknya perjudian daring yang telah merusak tatanan sosial dan ekonomi Indonesia. Judi online menjadi ancaman serius di tengah pesatnya perkembangan teknologi, di mana pelaku dan pemain judi semakin sulit terdeteksi, sering kali menyasar generasi muda yang rentan terhadap dampak negatifnya. Menteri Meutya, yang memiliki pengalaman dalam dunia politik dan digital, berencana untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap perjudian online. Pemberantasan judi online ini dilakukan melalui langkah-langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak, seperti lembaga pengawasan, penegak hukum, dan platform teknologi. Selain itu, kementerian juga berencana mengoptimalkan penggunaan teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan (AI), untuk mendeteksi dan memblokir situs judi online secara lebih efektif. Dalam 100 hari pertama, Meutya telah mengarahkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna menindak tegas penyedia situs judi online yang beroperasi tanpa izin di Indonesia. Upaya ini didorong oleh berbagai faktor, salah satunya adalah perkiraan bahwa transaksi judi online pada akhir tahun 2024 diperkirakan dapat mencapai Rp400 triliun, yang jika tidak segera dibendung, dapat menambah beban sosial dan ekonomi negara. Sebagai bagian dari strategi pemberantasan judi online, Menkodigi juga memperkuat kerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), yang bertugas untuk memantau dan menganalisis aliran dana yang terkait dengan kegiatan judi online. Menurut PPATK, sejumlah transaksi judi daring telah mencapai nilai yang sangat besar dan berpotensi merusak perekonomian digital negara. Pemerintah juga menggunakan alat dan regulasi yang ada untuk memblokir akses ke situs-situs judi online, serta menghentikan promosi yang merugikan ini melalui saluran-saluran digital yang sangat cepat dan mudah diakses masyarakat. Dalam melakukan langkah-langkah tersebut, pemerintah memiliki landasan hukum yang cukup kuat. Salah satu undang-undang yang relevan dalam upaya pemberantasan judi online adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. UU ITE ini memberikan dasar hukum untuk menindak tegas peredaran konten ilegal melalui internet, termasuk judi online. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang ITE yang mengatur tentang larangan penyebaran materi yang melanggar norma kesusilaan, ketertiban umum, dan hukum di dunia maya memberikan ruang bagi pemerintah untuk menghapus konten judi online yang mengancam moralitas publik. Selain UU ITE, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama juga turut memberikan landasan hukum dalam memberantas perjudian. Dalam pasal 303 KUHP lama, tindak pidana perjudian diatur dengan ancaman pidana yang cukup berat, baik bagi para penyelenggara maupun pemain judi. Pasal ini masih berlaku meskipun akan ada pembaruan melalui KUHP Baru yang saat ini sedang dalam tahap revisi. KUHP Baru yang dirancang mengakomodasi berbagai perkembangan digital, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi aparat penegak hukum untuk menindak kejahatan yang terjadi di dunia maya, termasuk perjudian online. Misalnya, dalam draft KUHP Baru, terdapat aturan yang memperjelas sanksi bagi mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan judi online, baik yang dilakukan oleh individu maupun organisasi. Menteri Komunikasi dan Digital juga berfokus pada pencegahan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya judi online, serta mendidik masyarakat mengenai dampak sosial dan ekonominya, menjadi bagian integral dari strategi pemberantasan judi. Pendidikan ini tidak hanya menyasar para pemain judi, tetapi juga masyarakat umum yang dapat menjadi korban kejahatan dunia maya yang berhubungan dengan perjudian. Kementerian Komunikasi dan Digital berharap melalui kampanye ini, masyarakat akan lebih peka dan berhati-hati dalam berinteraksi dengan platform digital. Selain upaya penegakan hukum yang lebih ketat, Menkodigi juga mendorong kerja sama lebih erat antara pemerintah, platform digital, dan sektor swasta untuk menciptakan sistem yang lebih aman bagi pengguna internet. Pemerintah berencana memperkenalkan regulasi yang mewajibkan penyedia layanan internet untuk bekerja sama dalam memblokir situs-situs judi online, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang lebih cepat bagi masyarakat. Ini akan memastikan bahwa langkah-langkah penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Upaya pemberantasan judi online ini juga perlu didukung dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan perjudian daring. Diperlukan pelatihan khusus bagi polisi dan jaksa untuk memahami dan mengimplementasikan hukum yang berlaku di dunia maya, termasuk pengawasan terhadap transaksi keuangan yang terkait dengan perjudian. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Menkodigidalam memberantas judi online adalah keberadaan situs judi yang terus berkembang dan beradaptasi dengan sistem enkripsi yang canggih. Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Digital harus terus berinovasi dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam menghadapi ancaman yang datang dari dunia maya. Dengan segala upaya yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital di bawah kepemimpinan Menkodigi Meutya Hafid, Indonesia diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari judi online. Pemberantasan judi daring ini akan melibatkan berbagai sektor, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor teknologi, untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.** *Penulis adalah dosen prodi Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Sumber Artikel: Pontianak Post

Muhammad Rafi Darajati
Artikel, Berita, Opini

Kebijakan Inkonstitusional Ekspor Pasir Laut

Di era kemerdekaan, negara Indonesia telah “bersumpah” sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa kita, bahwa salah satunya adalah untuk, “…memajukan kesejahteraan umum.” Tujuan yang tertuang di dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) ini mengindikasikan bahwa negara berjanji akan memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya demi rakyat Indonesia agar memiliki kesejahteraan yang baik dalam kesehariannya. Sumpah tersebut bahkan dipertegas tidak hanya di dalam pembukaan UUD NRI 1945 saja, melainkan juga dapat kita lihat di dalam batang tubuh. Di dalam pasal 33 misalnya, pada ayat 3 dan 4 dipertegas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar¬besar kemakmuran rakyat; serta perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan prinsip keberlanjutan. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat secara luas, bukan untuk keuntungan kelompok tertentu saja. Sehingga dalam hal ini negara memilki kewajiban agar kebijakan-kebijakannya tidak melanggar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat. Penulis mengantar pembaca dengan memulai pada pijakan normatif mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup dikarenakan saat ini terdapat kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi, yaitu kebijakan ekspor pasir laut. Kebijakan mengenai ekspor pasir laut kembali menjadi perhatian publik setelah diterbitkannya dua Peraturan Menteri Perdagangan yang membuka ekspor pasir laut. Kedua peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP Sedimentasi Laut) yang mengatur bahwa hasil sedimentasi laut berupa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut). Dalam dokumen tersebut, ditetapkan tujuh wilayah pesisir pengerukan sedimen laut. Pertama, Laut Jawa sekitar Kabupaten Demak. Kedua, Laut Jawa sekitar Kota Surabaya. Ketiga, Laut Jawa sekitar Kabupaten Cirebon. Keempat, Laut Jawa sekitar Kabupaten Indramayu. Kelima, Laut Jawa sekitar Kabupaten Karawang. Keenam, Selat Makassar, yaitu di perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan. Ketujuh, Laut Natuna-Natuna Utara, yaitu perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan. Dari perspektif hukum, setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan ekspor pasir laut perlu untuk dilarang, dan dapat dikatakan sebagai kebijakan yang inkonstitusional. Apabila kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, telah ditafsirkan mengenai Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitusional penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Pemaknaan pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat berarti bahwa mementingkan modal alam, dengan mengakui bahwa fungsi-fungsi ekologis tertentu, tidak tergantikan oleh modal buatan manusia. Fungsi-fungsi ini harus dipertahankan secara utuh, yang berarti generasi mendatang harus mewarisi kodal alam yang tidak lebih kecil dari yang ada saat ini. Jika kita melihat di dalam PP Sedimentasi Laut, tertuang bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di Laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Namun, di sisi lain, dalam Kepmen Perencanaan Sedimentasi Laut mengakui adanya potensi kerusakan ekosistem dari kegiatan pengisapan dan pemuatan pasir laut. Kemudian Kepmen tersebut mengatur upaya-upaya pemulihan atau rehabilitasi untuk mengatasi kerusakan tersebut. Salah satu upayanya adalah rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Padahal, PP Sedimentasi Laut menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan sedimen laut untuk melindungi ekosistem seperti mangrove dan terumbu karang. Maka terlihat adanya pertentangan yang membuat tujuan perlindungan dari PP Sedimentasi Laut diragukan. Melihat pengaturan pada Kepmen tersebut, terlihat bahwa kebijakan sedimen atau pasir laut tidak menganut prinsip pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat. Dampak terhadap pengisapan pasir laut dianggap dapat diatasi dengan upaya-upaya rehabilitasi. Padahal, fungsi ekosistem dari mangrove yang sudah bertahun-tahun bertahan dibanding dengan mangrove yang baru ditanam tentunya berbeda. Sehingga, kebijakan ini bertentangan dengan arah pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi. Untuk memastikan pelaksanaan konstitusi dalam kaitan pengelolaan sumber daya alam, maka sudah semestinya pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang dapat menyebabkan ekologis yang besar. Keuntungan yang didapatkan dari kebijakan ekspor pasir laut sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi kerugian yang ditimbulkan. Keuntungan yang didapatkan akan dirasakan oleh kelompok tertentu yang menjadi pemain utama saja. Sementara itu, kerugian akan dirasakan oleh masyarakat umum, terutamanya masyarakat pesisir. Negara memiliki kewajiban agar kebijakannya tidak melangar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana tertuang di dalam pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, PP Sedimentasi Laut juga bertentangan dengan Undang Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Di mana di dalam pasal 56 UU Kelautan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Membuka kesempatan penambangan dan ekspor pasir laut tentunya bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan yang diatur di UU Kelautan. Pembacaan yang utuh terhadap teks secara tekstual dan kontekstual terhadap Pasal 56 UU Kelautan, akan menghasilkan kesimpulan bahwa PP Sedimentasi laut bukanlah peraturan turunan yang dikehendaki UU Kelautan. PP Sedimentasi Laut juga tidak sejalan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), terkhusus di dalam pasal 96 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak taat asasnya sedimentasi laut ini adalah ketika proses pembentukannya dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik. Rancangan PP Sedimentasi Laut pada saat itu sulit untuk diakses, bahkan naskah akademiknya pun tidak tersedia untuk diakses oleh masyarakat umum. Ketidakselarasan berikutnya adalah dengan pasal 5 UU

Scroll to Top